Sepanjang abad 1-2 AD, Prancis (Gaule) berada di bawah kekuasaan Kekaisaran Romawi. Perlahan, terjadilah akulturasi antara bangsa Gaule & Roma itu, yg melahirkan peradaban Gallo-romain (Gallo-Romawi). Sementara itu di Roma, otoritas kekaisaran melemah dgn drastis & kota Roma hancur oleh serbuan suku Visigoth pimpinan Alaric tahun 410. Akhirnya pada tahun 476, Kekaisaran Romawi Barat benar-benar runtuh. Pada abad ke-5 itu, terjadi pula gelombang invasi kaum barbar dari wilayah Germania ke Gaule yg mempercepat perubahan masyarakat wilayah tersebut.
Suku bangsa barbar yg mewarnai perubahan besar di Gaule adalah suku Frank dari Germania. Kedatangan bangsa Frank terbagi ke dalam 2 kelompok, yakni Frank Rheinland (Rhenan) yg menetap di sekitar Köln (Jerman selatan) & Frank Salien di sekitar Tournai (Belgia) & Prancis utara. Suku Frank Salien lah yg pada perkembangan selanjutnya melebarkan sayap kekuasaannya & membentuk dinasti raja-raja Prancis pertama.Dinasti pertama ini dikenal dengan nama la dynastie Mérovingienne. Dinasti ini memerintah di wilayah Prancis dari 481-751.Pendirinya adalah Clovis Ier (481-511). Nama dynastie Mérovingienne diambilkan dari nama kakek Clovis Ier, yaitu Mérovée. Mérovée adalah raja kedua bangsa Frank Salien, namun keberadaannya masih misterius sehingga beberapa sejarawan hanya menganggapnya sebagai tokoh legendaris. Clovis Ier dinyatakan sebagai raja pertama dari seluruh bangsa Frank berkat penaklukan yg dilakukannya atas wilayah Gallo-romain.
Clovis Ier (raja pertama bangsa frank) adalah putra Childéric Ier. Ia lahir ± tahun 466, dari permaisuri Childéric Ier yang bernama Basine dari Thuringe (Thuringia; Jerman).
Clovis Ier tidak mewarisi wilayah yg luas dari ayahnya.Wilayah bangsa Frank saat itu masih sangat kecil & belum memiliki kekuatan politis & militer yg memadai (Perhatikan wilayah yg diberi warna biru muda). Clovis Ier menghabiskan sebagian besar periode pemerintahannya untuk melebarkan sayap kekuasaan ke seluruh penjuru Gaule. Dalam usahanya untuk menyatukan wilayah Gaule, Clovis Ier :
Mengalahkan Syagrius (penguasa Roma terakhir di Gaule) di Soissons (tahun 486).
Menghalau bangsa Alaman di Tolbiac (tahun 496).
Menaklukkan Gondebaud (raja bangsa Burgonde) di dekat Dijon (tahun 500). Membunuh Alaric II (raja bangsa Visigoth) di Vouillé (tahun 507).
Wilayah Clovis Ier, yakni kerajaan Frank Salien (peta berwarna kuning), bertambah luas dengan kekalahan Syagrius di Soissons, sekaligus takluknya bangsa Burgonde & Wisigoth.
Clovis Ier lalu mengadakan konsolidasi demi memperkuat wilayah kerajaannya.
Ia beraliansi dgn kerajaan Frank Rhenanie dengan cara menikahi salah seorang putri dari kerajaan itu.
Pernikahan politis ini sering disebut-sebut sebagai episode aliansi taktik dgn kerajaan tetangga di bagian timur Gaule (wilayah Germania).
Pada puncak kejayaannya, wilayah bangsa Frank membentang dari sungai Rhein di Jerman hingga ke pegunungan Pyrennia di perbatasan Prancis-Spanyol dewasa ini. Untuk mewujudkan ambisi kekuasaannya, Clovis Ier tidak pernah ragu untuk menyingkirkan segala jenis hambatan. Salah satu fakta menarik adalah pembunuhan semua kepala suku Frank Salien & Rhenanie (sekutu lamanya), & beberapa anggota keluarga yg jauh hubungan darahnya, demi mengukuhkan kedudukan putra-putranya atas tahta Frank.
Wilayah Frank, sepeninggalan Clovis Ier (511)
(Perhatikan bagian berwarna biru).
Clovis Ier berhasil mengukuhkan dirinya sebagai Rex Franconum (raja bangsa Frank) Demi mengukuhkan kekuasaan & memperluas wilayahnya, Clovis Ier menikahi putri raja Chilpéric II & ratu Carétène dari kerajaan Burgonde yg beragama Katolik, yakni putri Clotilde.
Clotilde (475-545)
Melalui peran aktif Clotilde yg religius, perlahan-lahan agama Katolik mulai menggantikan posisi paganisme dalam lingkungan wilayah Frank. Tahun 498, ± 5 tahun setelah menikahi Clotilde, Clovis Ier beserta ribuan ksatria & prajuritnya pun dibaptis oleh Saint-Rémy, uskup kota Reims. Kontribusi total Clovis Ier terhadap gereja Katolik juga dibuktikan dengan pembangunan banyak biara, diantaranya adalah Abbaye de Sainte-Geneviève di Paris (tahun 502). Biara yang dibangunnya bersama Clotilde ini khusus didedikasikan untuk Sainte-Geneviève, seorang santa yg dipercaya sebagai santa pelindung kota Paris.
Abbaye de Sainte-Geneviève di Paris, yg berada satu kompleks dengan Lycée Henri IV.
Pada masa pemerintahan Clovis Ier diterapkanlah la loi salique. La loi salique adalah UU yang pada intinya bertujuan untuk mengakhiri kebiasaan melakukan la faide (balas dendam pribadi) pada kultur masyarakat Germania. Yg terpenting dari la loi salique adalah larangan kerasnya bagi kaum wanita untuk menjadi ratu.
Sebagian salinan perkamen la loi salique ciptaan Clovis Ier
Clovis Ier wafat akibat penyakit syaraf kronis pada tanggal 27 November 511 di Paris, di usianya yg ke-45. Sesuai dengan tradisi germanik, sepeninggal Clovis Ier wilayah Frank harus dibagi secara adil kepada keempat putranya yakni Thierry, Clodomir, Childebert, & Clotaire. Keempat putra Clovis Ier pun menjadi raja di wilayah mereka masing-masing. Sangat disayangkan bahwa wilayah yg sudah dipersatukan dengan susah payah oleh Clovis Ier akhirnya harus terpecah-belah akibat tradisi yang mengikat sang raja beserta seluruh keturunannya.
Masing-masing putra Clovis Ier itu bergelar Thierry Ier (Théodoric), Clodomir Ier, Childebert Ier, & Clotaire Ier
Pembagian wilayah Frank pasca kematian Clovis Ier (511):
Kerajaan Orléans untuk Clodomir.
Kerajaan Paris untuk Childebert.
Kerajaan Soissons untuk Clotaire.
Kerajaan Reims untuk Thierry.
Pada periode selanjutnya, wilayah Frank dilanda kekacauan hebat yang tiada henti.
Clodomir Ier tewas terbunuh dalam pertempuran di Vézeronce (21 Juni 524) melawan bangsa Bourgonde, & 10 tahun kemudian Clotaire Ier menganeksasi wilayahnya.
Thierry Ier (Théodoric) meninggal setelah menyerbu Thuringia (tahun 534).
Clotaire Ier lantas menyerbu & mencaplok wilayah Thierry Ier.
Childebert Ier meninggal tanpa mempunyai pewaris yang sah.
Clotaire Ier pun mengambil alih wilayah Childebert Ier, & memasukkannya ke dalam wilayah kekuasaannya.
Setelah Clotaire Ier wafat (tahun 561), wilayah kerajaannya dipecah lagi untuk keempat putranya, yakni Caribert Ier, Gontran, Sigebert Ier, & Chilpéric Ier.
Pembagian wilayah Frank pasca kematian Clotaire Ier :
Caribert Ier mendapatkan kerajaan Neustrie.
Gontran mendapatkan wilayah Bourgogne.
Sigebert Ier mendapatkan wilayah Austrasie & Auvergne.
Chilpéric hanya mendapatkan wilayah kecil di sebelah utara.
Beberapa puluh tahun kemudian, cucu Clotaire Ier dari Chilpéric Ier, yakni Clotaire II (584-629; 613-629), berhasil menyatukan wilayah Frank kembali & bahkan berhasil mewariskannya kepada putranya yg bernama Dagobert Ier (602-639; 629-639). Mulai tahun 639 (akhir pemerintahan Dagobert Ier), hegemoni politis dinasti Mérovingien merosot drastis. Masa ini dikenal dengan période des rois fainéants (periode raja-raja malas), karena raja-raja keturunan Clovis Ier mempercayakan sepenuhnya urusan politis kerajaan kepada maire du palais (bangsawan daerah). Para maire du palais ini bertugas mengurusi istana & harta tidak bergerak milik kerajaan Austrasie, Neustrie, & Bourgogne. Dengan kekuasaan mereka yg sangat besar, para maire du palais ini perlahan-lahan mengambil alih kekuasaan politis di Prancis. Fenomena ini akhirnya membuka jalan bagi seorang maire du palais yang bernama Pépin le Bref untuk menggulingkan Childéric III (743-751), raja keturunan Clovis yg terakhir pada tahun 751.
Peristiwa saat Childéric III dipaksa turun tahta oleh Pépin le Bref. Childéric III lalu diasingkan ke sebuah biara atas perintah Pépin le Bref & beberapa tahun kemudian ia ditemukan mati terbunuh secara misterius. Para sejarawan berkeyakinan bahwa ia dibunuh secara diam-diam atas perintah Pépin le Bref dalam upayanya menumpas habis seluruh keturunan Clovis Ier.
Mon instagram @tedi.purnam
Merci beaucoup :)
0 Comment to "La Première Dynastie des Rois de France (Dinasti Pertama Kerajaan Prancis)"
Posting Komentar