Assalamu’alékum! Tabé srèntè hormat!
Bahasa Betawi – Pelajaran 1: Seputar Bahasa
Betawi
Nah, ketemu lagi ama
Admin RF. Kali ini, Admin RF mao njelasin tentang bahasa Betawi. Mungkin
dibenak teman-teman KePoster akan muncul pertanyaan “Ngapain sih gue belajar
bahasa Betawi? ‘Kan tinggal di-è-è-in aja, secara gue ngerti gitu loh.”
(dalam logat anak-anak Jakarta sekarang). Kalau iya bener, sekarang
Admin RF balikin lagi “Abongah?”. Nah loh, langsung dah padè kèder
apa artinya abongah. Makanya, Admin RF pèngèn mengenalkan bahasa
Betawi yang sesungguhnya, bukan bahasa Indonesia yang di-Betawikan saja.
Sejarah singkat
Bahasa Betawi berangkat
dari bahasa Melayu Pasar yang dituturkan di Betawi (Batavia). Pada zaman itu,
banyak orang dari suku bangsa mana-mana datang ke Betawi atau didatangkan oleh Kumpeni,
sehingga perlu adanya suatu bahasa yang digunakan untuk berbicara sehari-hari.
Karena berasal dari suku bangsa yang beragam, mereka membawa pengaruh bahasa
mereka terhadap bahasa Melayu Pasar yang digunakan di Kota Betawi. Oleh karena
itu, jadilah bahasa gado-gado, kalo’ orang kitè katè, yang
sekarang dikenal sebagai bahasa Betawi. Unsur penyusun bahasa Betawi berasal
dari bahasa Melayu itu sendiri, bahasa Jawa, bahasa Sunda, bahasa Bali, bahasa
Arab, bahasa Cina (Hokkien dan Hakka), bahasa Belanda, bahasa Portugis, dll.
Mereka semua adalah bahasa-bahasa yang dipakai oleh suku bangsa yang datang ke
Betawi.
Selaras dengan sejarah
bahasanya, orang Betawi juga merupakan campuran dari suku bangsa yang tinggal
di Betawi dan “kehilangan jati dirinya”, karena lama meninggalkan kampung
halaman dan membaur dengan orang lain. Kita dapat lihat pengaruh campuran
tersebut dalam budaya Betawi.
Bahasa Betawi, bahasa omongan doang atau juga bahasa sastra?
Orang hanya
mengetahui bahwa bahasa Betawi hanya berbentuk bahasa ucapan saja. Artinya
bahasa Betawi hanya digunakan sebagai bahasa sehari-hari dan tidak memiliki
karya sastranya. Anggapan ini justru salah besar. Berbeda dengan wilayah-wilayah
lainnya, masyarakat Betawi dan Pemerintah Kota Betawi pada zaman itu
menggunakan bahasa ragam Betawi yang disesuaikan untuk laras cetak. Seperti
pada koran Hindia Nederland: Soerat Kabar Betawi, Bintang Barat, dll.
Selain koran, masyarakat
Betawi punya karya sastra. Karya sastra Betawi sudah ada sejak zaman dahulu.
Kita dapat membaca karya-karya seorang penyalin cerita Betawi, Muhammad Bakir
dari Pecenongan, yang menuliskan ulang cerita-cerita, pada umumnya, cerita
perwayangan dan cerita Jawa dalam bahasa Betawi. Adapun karya sastra Betawi
modern saat ini tidak begitu banyak, misalnya Gambang Jakarte karya
Firman Muntaco dan Sebelas Colen di Malam Lebaran: Setangkle Cerita Betawi
karya Chairil Gibran Ramadhan. Bahasa yang digunakan dalam sastra lama dan
sastra baru juga agak berbeda. Bahasa sastra lama cenderung lebih halus dan pengaruh
bahasa Melayunya masih kuat. Lain dengan bahasa sastra baru, bahasa yang
digunakan cenderung merupakan bahasa omongan yang dituangkan dalam karya
cetak.
Kalo begitu, harusnya bahasa Betawi
punya ejaannya dong? Terus, apa ejaannya?
Pada zaman dahulu,
bahasa Betawi biasanya ditulis dengan ejaan Arab yang diberi tambahan beberapa
huruf. Huruf ini merupakan pengembangan dari ejaan Jawi (Arab Melayu). Namun,
terdapat perbedaan antara cara ejaan Betawi dan Melayu (tidak dibahas dalam
pelajaran ini). Sebutan ejaan tersebut beragam, ada yang bilang Pègon
(walaupun ejaannya bukan turunan Pegon Jawa), Arab Gundul, Arab Melayu, dan bahkan
Jawi itu sendiri.
Namun, media cetak
Betawi pada umumnya menggunakan ejaan Latin yang berdasarkan ejaan Belanda. Hal
ini biasanya terjadi jika redakturnya adalah orang Belanda atau orang Cina.
Adapun zaman
sekarang, orang Betawi belum memiliki ejaan baku yang digunakan untuk menulis
bahasa Betawi. Tetapi, ada ejaan umum yang biasanya ada di dalam kamus-kamus
Betawi dan buku yang berkenaan dengan bahasa Betawi. Kita akan menggunakan
ejaan ini,
Terus, apakah ada ragam dari bahasa Betawi itu sendiri?
Pastinya! Bahasa
Betawi bukanlah hanya bahasa Indonesia yang diubah akhiran ‘a’-nya menjadi è
saja. Tapi jauh dari itu. Selain itu, tidak semua orang Betawi mengucapkan bunyi
‘a’ di akhir menjadi è. Ada beberapa ragam dialek bahasa Betawi.
Pertama adalah
dialek yang mengucapkan ‘a’ di akhir sebagai è. Sebenarnya tidak semua
yang mengucapkan huruf ‘a’ akhir sebagai è berbicara dengan ragam yang
sama. Ada juga pembagiannya, seperti ada yang mengatakan ‘apa’ menjadi apè,
tetapi ‘tidak’ menjadi kaga’ dan ada juga yang mengatakan ‘apa’ menjadi apè,
tetapi ‘tidak’ menjadi kagè. Itu dituturkan di wilayah yang berbeda.
Biasanya ragam apè-kaga’ (saya istilahkan dengan “ragam Kemayoran”) diketahui
oleh banyak orang, karena ragam ini adalah ragam yang dibawa oleh seniman
Betawi termasyhur, Benyamin Suaeb. Adapun ragam apè-kagè (saya
istilahkan dengan “ragam Mèstèr”) dituturkan di wilayah yang dulunya pusat
pemerintahan Kabupaten Meester Cornelis (sekarang Jatinegara). Grijns dalam Jakarta
Malay (1991) tidak memecah ragam ini dan menyebutnya sebagai Urban
Jakarta dialect, namun dalam Chaer dalam Kamus Dialek Jakarta (2009)
menggunakan istilah “Mester” untuk ragam apè-kagè. Namun, saya ambil
istilah “ragam Kemayoran” untuk ragam pertama, karena Babè Benyamin
Suaeb dalam filmnya tidak menggunakan ragam Mester, melainkan ragam yang agak
berbeda. Terlebih lagi, ragam ini terkenal sekali. Oleh karena itu, istilah
ragam ini dibedakan.
Kedua, ada dialek
yang mengucapkan ‘a’ di akhir sebagai é, tetapi mengucap ‘tidak’ tetap kaga’.
Loh, bedanya apa dengan yang tadi? Huruf è dan é memang
sama-sama huruf ‘e’ taling, namun memiliki pengucapan yang beda dan merupakan
fonem. Kita akan bahas mengenai bunyinya nanti. Penutur dialek ini ada di
sekitar wilayah Tebet dan sekitarnya (agak ke arah selatan). Saya akan
istilahkan dialek ini sebagai “ragam Kebon Baru”.
Ketiga, ada dialek
yang mengucapkan bunyi ‘a’ di akhir sebagai e (pepet). Saya akan gunakan
istilah “ragam Tanah Abang”. Dialek ini dalam Grijns (1991) disebut “ragam
Petamburan”.
Lalu, ada dialek
yang sering disebut “dialek pinggiran” atau “dialek ora”. Ragam-ragam
pinggir yang dituturkan di Tangerang, Depok, Bogor, dan Bekasi sebenarnya agak
berbeda. Mereka memiliki kekhasannya sendiri. Biasanya, mereka mengucapkan ‘a’
di akhir sebagai ah, seperti ‘apa’ menjadi apah. Mereka juga
menggunakan kata ora untuk kata ‘tidak, tak’ mereka. Pengaruh bahasa
daerah tetangga sangat banyak dalam ragam ini. Admin RF mengistilahkannya
dengan “ragam Tangerang”, “ragam Kidul” (untuk Depok-Bogor), dan untuk Bekasi
akan dipecah menjadi “ragam Bekasi” dan “ragam Pebayuran”. Kenapa ragam Bekasi
dipecah? Karena pada kenyataannya, bahasa Betawi Bekasi yang ada di Bekasi Kota
sedikit merupakan peralihan antara ragam Jakarta dan ragam Wetan
(Pebayuran). Adapun bahasa Betawi Pebayuran memiliki pengaruh Sunda yang lebih
kuat. Untuk perihal bahasa Betawi Bekasi akan dibahas oleh Admin RFQ dalam
kiriman yang berbeda.
Setelah itu, ada ragam
Karet (Chaer, 2009:xxvi). Ragam ini mengucapkan huruf ‘a’ di akhir sebagai è’,
namun bunyi ‘ah’ di akhir sebagai a, contoh: ‘apa’ menjadi apè’
dan ‘rumah’ menjadi ruma.
Sebenarnya
pembagian dialek Betawi belum ada ajeg-nya. Namun, Admin RF berusaha
menggabungkan penelitian Grijns (1991), Chaer (2009), dan penelusuran pribadi. Kalau
saya rangkum, maka ragam-ragam bahasa Betawi adalah sebagai berikut: 1) ragam
Mèstèr, 2) ragam Kemayoran, 3) ragam Kebon Baru, 4) ragam Tanah Abang, 5) ragam
Tangerang, 6) ragam kidul, 7) ragam Bekasi, 8) ragam Pebayuran, dan 9)
ragam Karet. Inilah yang menjadi patokan dalam situs ini. Mungkin para pembaca
memiliki versi sendiri berdasarkan dalilnya, silakan saja. Terakhir, apakah
ragam bahasa Betawi hanya sebatas berbeda di pengucapan huruf ‘a’ pada akhir
kata? Tidak, tentu saja kosakata dan sebagian unsur tata bahasa juga berbeda.
Nanti akan dibahas secara rinci pada pelajaran-pelajaran selanjutnya.
Nah, sekian dulu pengenalan
bahasa Betawinya. Ampé mapag di pelajaran-pelajaran selanjutnya.
Assalamu’alékum! Tabé!
0 Comment to "Bahasa Betawi: Pelajaran 1 - Seputar Bahasa Betawi"
Posting Komentar