Selasa, 17 September 2019

Bahasa Betawi: Pelajaran 1 - Seputar Bahasa Betawi


Assalamu’alékum! Tabé srèntè hormat!
Bahasa Betawi – Pelajaran 1: Seputar Bahasa Betawi

Pengantin Betawi sedang melakukan sungkeman kepada orang tua

            Nah, ketemu lagi ama Admin RF. Kali ini, Admin RF mao njelasin tentang bahasa Betawi. Mungkin dibenak teman-teman KePoster akan muncul pertanyaan “Ngapain sih gue belajar bahasa Betawi? ‘Kan tinggal di-è-è-in aja, secara gue ngerti gitu loh.” (dalam logat anak-anak Jakarta sekarang). Kalau iya bener, sekarang Admin RF balikin lagi “Abongah?”. Nah loh, langsung dah padè kèder apa artinya abongah. Makanya, Admin RF pèngèn mengenalkan bahasa Betawi yang sesungguhnya, bukan bahasa Indonesia yang di-Betawikan saja.


Sejarah singkat
            Bahasa Betawi berangkat dari bahasa Melayu Pasar yang dituturkan di Betawi (Batavia). Pada zaman itu, banyak orang dari suku bangsa mana-mana datang ke Betawi atau didatangkan oleh Kumpeni, sehingga perlu adanya suatu bahasa yang digunakan untuk berbicara sehari-hari. Karena berasal dari suku bangsa yang beragam, mereka membawa pengaruh bahasa mereka terhadap bahasa Melayu Pasar yang digunakan di Kota Betawi. Oleh karena itu, jadilah bahasa gado-gado, kalo’ orang kitè katè, yang sekarang dikenal sebagai bahasa Betawi. Unsur penyusun bahasa Betawi berasal dari bahasa Melayu itu sendiri, bahasa Jawa, bahasa Sunda, bahasa Bali, bahasa Arab, bahasa Cina (Hokkien dan Hakka), bahasa Belanda, bahasa Portugis, dll. Mereka semua adalah bahasa-bahasa yang dipakai oleh suku bangsa yang datang ke Betawi.
            Selaras dengan sejarah bahasanya, orang Betawi juga merupakan campuran dari suku bangsa yang tinggal di Betawi dan “kehilangan jati dirinya”, karena lama meninggalkan kampung halaman dan membaur dengan orang lain. Kita dapat lihat pengaruh campuran tersebut dalam budaya Betawi.

Bahasa Betawi, bahasa omongan doang atau juga bahasa sastra?
            Orang hanya mengetahui bahwa bahasa Betawi hanya berbentuk bahasa ucapan saja. Artinya bahasa Betawi hanya digunakan sebagai bahasa sehari-hari dan tidak memiliki karya sastranya. Anggapan ini justru salah besar. Berbeda dengan wilayah-wilayah lainnya, masyarakat Betawi dan Pemerintah Kota Betawi pada zaman itu menggunakan bahasa ragam Betawi yang disesuaikan untuk laras cetak. Seperti pada koran Hindia Nederland: Soerat Kabar Betawi, Bintang Barat, dll.
            Selain koran, masyarakat Betawi punya karya sastra. Karya sastra Betawi sudah ada sejak zaman dahulu. Kita dapat membaca karya-karya seorang penyalin cerita Betawi, Muhammad Bakir dari Pecenongan, yang menuliskan ulang cerita-cerita, pada umumnya, cerita perwayangan dan cerita Jawa dalam bahasa Betawi. Adapun karya sastra Betawi modern saat ini tidak begitu banyak, misalnya Gambang Jakarte karya Firman Muntaco dan Sebelas Colen di Malam Lebaran: Setangkle Cerita Betawi karya Chairil Gibran Ramadhan. Bahasa yang digunakan dalam sastra lama dan sastra baru juga agak berbeda. Bahasa sastra lama cenderung lebih halus dan pengaruh bahasa Melayunya masih kuat. Lain dengan bahasa sastra baru, bahasa yang digunakan cenderung merupakan bahasa omongan yang dituangkan dalam karya cetak.

Kalo begitu, harusnya bahasa Betawi punya ejaannya dong? Terus, apa ejaannya?
            Pada zaman dahulu, bahasa Betawi biasanya ditulis dengan ejaan Arab yang diberi tambahan beberapa huruf. Huruf ini merupakan pengembangan dari ejaan Jawi (Arab Melayu). Namun, terdapat perbedaan antara cara ejaan Betawi dan Melayu (tidak dibahas dalam pelajaran ini). Sebutan ejaan tersebut beragam, ada yang bilang Pègon (walaupun ejaannya bukan turunan Pegon Jawa), Arab Gundul, Arab Melayu, dan bahkan Jawi itu sendiri.
            Namun, media cetak Betawi pada umumnya menggunakan ejaan Latin yang berdasarkan ejaan Belanda. Hal ini biasanya terjadi jika redakturnya adalah orang Belanda atau orang Cina.
            Adapun zaman sekarang, orang Betawi belum memiliki ejaan baku yang digunakan untuk menulis bahasa Betawi. Tetapi, ada ejaan umum yang biasanya ada di dalam kamus-kamus Betawi dan buku yang berkenaan dengan bahasa Betawi. Kita akan menggunakan ejaan ini,

Terus, apakah ada ragam dari bahasa Betawi itu sendiri?
            Pastinya! Bahasa Betawi bukanlah hanya bahasa Indonesia yang diubah akhiran ‘a’-nya menjadi è saja. Tapi jauh dari itu. Selain itu, tidak semua orang Betawi mengucapkan bunyi ‘a’ di akhir menjadi è. Ada beberapa ragam dialek bahasa Betawi.
            Pertama adalah dialek yang mengucapkan ‘a’ di akhir sebagai è. Sebenarnya tidak semua yang mengucapkan huruf ‘a’ akhir sebagai è berbicara dengan ragam yang sama. Ada juga pembagiannya, seperti ada yang mengatakan ‘apa’ menjadi apè, tetapi ‘tidak’ menjadi kaga’ dan ada juga yang mengatakan ‘apa’ menjadi apè, tetapi ‘tidak’ menjadi kagè. Itu dituturkan di wilayah yang berbeda. Biasanya ragam apè-kaga’ (saya istilahkan dengan “ragam Kemayoran”) diketahui oleh banyak orang, karena ragam ini adalah ragam yang dibawa oleh seniman Betawi termasyhur, Benyamin Suaeb. Adapun ragam apè-kagè (saya istilahkan dengan “ragam Mèstèr”) dituturkan di wilayah yang dulunya pusat pemerintahan Kabupaten Meester Cornelis (sekarang Jatinegara). Grijns dalam Jakarta Malay (1991) tidak memecah ragam ini dan menyebutnya sebagai Urban Jakarta dialect, namun dalam Chaer dalam Kamus Dialek Jakarta (2009) menggunakan istilah “Mester” untuk ragam apè-kagè. Namun, saya ambil istilah “ragam Kemayoran” untuk ragam pertama, karena Babè Benyamin Suaeb dalam filmnya tidak menggunakan ragam Mester, melainkan ragam yang agak berbeda. Terlebih lagi, ragam ini terkenal sekali. Oleh karena itu, istilah ragam ini dibedakan.
            Kedua, ada dialek yang mengucapkan ‘a’ di akhir sebagai é, tetapi mengucap ‘tidak’ tetap kaga’. Loh, bedanya apa dengan yang tadi? Huruf è dan é memang sama-sama huruf ‘e’ taling, namun memiliki pengucapan yang beda dan merupakan fonem. Kita akan bahas mengenai bunyinya nanti. Penutur dialek ini ada di sekitar wilayah Tebet dan sekitarnya (agak ke arah selatan). Saya akan istilahkan dialek ini sebagai “ragam Kebon Baru”.
            Ketiga, ada dialek yang mengucapkan bunyi ‘a’ di akhir sebagai e (pepet). Saya akan gunakan istilah “ragam Tanah Abang”. Dialek ini dalam Grijns (1991) disebut “ragam Petamburan”.
            Lalu, ada dialek yang sering disebut “dialek pinggiran” atau “dialek ora”. Ragam-ragam pinggir yang dituturkan di Tangerang, Depok, Bogor, dan Bekasi sebenarnya agak berbeda. Mereka memiliki kekhasannya sendiri. Biasanya, mereka mengucapkan ‘a’ di akhir sebagai ah, seperti ‘apa’ menjadi apah. Mereka juga menggunakan kata ora untuk kata ‘tidak, tak’ mereka. Pengaruh bahasa daerah tetangga sangat banyak dalam ragam ini. Admin RF mengistilahkannya dengan “ragam Tangerang”, “ragam Kidul” (untuk Depok-Bogor), dan untuk Bekasi akan dipecah menjadi “ragam Bekasi” dan “ragam Pebayuran”. Kenapa ragam Bekasi dipecah? Karena pada kenyataannya, bahasa Betawi Bekasi yang ada di Bekasi Kota sedikit merupakan peralihan antara ragam Jakarta dan ragam Wetan (Pebayuran). Adapun bahasa Betawi Pebayuran memiliki pengaruh Sunda yang lebih kuat. Untuk perihal bahasa Betawi Bekasi akan dibahas oleh Admin RFQ dalam kiriman yang berbeda.
            Setelah itu, ada ragam Karet (Chaer, 2009:xxvi). Ragam ini mengucapkan huruf ‘a’ di akhir sebagai è’, namun bunyi ‘ah’ di akhir sebagai a, contoh: ‘apa’ menjadi apè’ dan ‘rumah’ menjadi ruma.
            Sebenarnya pembagian dialek Betawi belum ada ajeg-nya. Namun, Admin RF berusaha menggabungkan penelitian Grijns (1991), Chaer (2009), dan penelusuran pribadi. Kalau saya rangkum, maka ragam-ragam bahasa Betawi adalah sebagai berikut: 1) ragam Mèstèr, 2) ragam Kemayoran, 3) ragam Kebon Baru, 4) ragam Tanah Abang, 5) ragam Tangerang, 6) ragam kidul, 7) ragam Bekasi, 8) ragam Pebayuran, dan 9) ragam Karet. Inilah yang menjadi patokan dalam situs ini. Mungkin para pembaca memiliki versi sendiri berdasarkan dalilnya, silakan saja. Terakhir, apakah ragam bahasa Betawi hanya sebatas berbeda di pengucapan huruf ‘a’ pada akhir kata? Tidak, tentu saja kosakata dan sebagian unsur tata bahasa juga berbeda. Nanti akan dibahas secara rinci pada pelajaran-pelajaran selanjutnya.

            Nah, sekian dulu pengenalan bahasa Betawinya. Ampé mapag di pelajaran-pelajaran selanjutnya.

Assalamu’alékum! Tabé!



Share this

0 Comment to "Bahasa Betawi: Pelajaran 1 - Seputar Bahasa Betawi"

Posting Komentar